Budaya Arab sebelum kedatangan Islam mengenal apa yang disebut institusi pernikahan. Hanya, menurut Dr Najman Yasin, lembaga pernikahan ketika itu bukan sebuah institusi yang melulu mendatangkan maslahat, malah justru institusi yang sangat kental sifat jahiliyahnya. Masyarakat Arab sebelum Islam tidak menentukan aturan jelas soal poligami dan poliandri. Pria dan wanita bebas untuk melakukan poligami dan poliandri.
Masyarakat Arab sebelum Islam mengenal beberapa adat-istiadat yang serupa dengan pemahaman poliandri pada masyarakat modern. Yang paling dikenal dan sering dilakukan masyarakat Arab adalah jenis poliandri yang dikenal dengan nama : pernikahan istibda', pernikahan warisan dan pernikahan paceklik.
Pernikahan istibd� terjadi ketika suami memerintahkan isterinya bergaul dengan lelaki lain, sementara dalam masa itu suami tak akan menyentuh atau bercampur dengan sang istri. Suami menunggu saja apakah isterinya hamil atau tidak, setelah bergaul dengan lelaki yang diajukan olehnya. Seandainya isteri hamil, bila mau lelaki yang menggaulinya boleh menyuntingnya. Jika tak mau, sang isteri akan kembali pada suami lama, yang memerintahkan isterinya bergaul dengan lelaki yang dia ajukan sendiri.
Dalam pernikahan-warisan, anak lelaki mendapat warisan dari bapaknya dengan cara menikahi ibu kandungnya sendiri setelah sang bapak meninggal. Pada jaman modern ini, perbuatan yang juga dikutuk dalam drama mitologi Yunani Kuno Oedipus itu dikenal pula dengan istilah : incest.
Selain motif ekonomi yang mengemuka dalam pernikahan warisan, masyarakat Arab jahiliyah mengenal pula pernikahan paceklik. Dalam pernikahan paceklik suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi dengan orang kaya, demi mendapatkan uang dan kebercukupan pangan. Pernikahan ini semata-mata dilakukan sebab ketidak-berdayaan ekonomi. Ironis dan sungguh hina, ketika setelah kaya perempuan itu pulang kembali pada suami lamanya.
Selain pernikahan istibda', pernikahan-warisan dan pernikahan-paceklik, masyarakat Arab jahiliyah juga mengenal aktivitas swinger atau tukar pasangan yang dikenal dengan sebutan pernikahan tukar guling. Pernikahan tukar guling ini dilakukan untuk bersenang-senang saja, dan adakalanya menampilkan ritual tertentu ketika si wanita hamil karena aktivitas swinger-nya. Ritual itu dilakukan untuk menentukan siapa ayah si anak yang dikandung atau terlahir dari rahimnya. Cara ritualnya ?
-
Perempuan yang mempunyai suami lebih dari satu (mulai dari dua sampai sembilan orang), setelah hamil akan menentukan sendiri siapa suami dan bapak daripada anak yang dia kandung.
-
Ketika perempuan melahirkan seorang anak, semua lelaki yang pernah menggaulinya duduk melingkari sang anak. Sang anak lalu dibiarkan berjalan atau merangkak seenak arah. Ketika ia berjalan mengarah ke salah seorang di antara mereka, maka siapa yang dihampiri itulah yang ditentukan sebagai bapak dari anaknya.
Andai Islam tak mengharamkan poliandri, barangkali apa yang pernah terjadi pada masyarakat jahiliyah dulu akan terjadi pada masa kini. Dengan diharamkannya poliandri jauh sejak berabad-abad lalu saja, aktivitas swinger maupun poliandri walaupun terselubung itu masih saja terjadi. Kasus perselingkuhan, kegiatan-kegiatan free sex yang banyak dilansir oleh mass media maupun buku (misalnya : Jakarta Underground-nya Moammar Emka) merupakan rujukan data yang tak terbantahkan, soal ada atau tidaknya aktivitas penyimpangan seksual yang menjerumuskan, mengorbankan dan merendahkan martabat kaum wanita itu. Dalam kasus pengharaman poliandri inilah makanya, kita mesti mengakui betapa hukum Islam telah sempurna memagari kemungkinan-kemungkinan buruk yang bakal menggusur umat manusia kedalam lumpur kenistaan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan